Minggu, 09 Desember 2012

Penyu Hijau

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Reptilia
Ordo: Testudines
Famili: Cheloniidae
Genus: Chelonia
Latreille dalam Sonnini & Latreille, 1802
Spesies: Chelonia mydas
Nama binomial
Chelonia mydas
(Linnaeus, 1758)
Chelonia mydas, atau yang biasanya dikenal dengan nama Penyu Hijau adalah penyu laut besar yang termasuk dalam keluarga Cheloniidae. Hewan ini adalah satu-satunya spesies dalam golongan Chelonia. Mereka hidup di semua laut tropis dan subtropis, terutama di Samudera Atlantik dan Samudera Pasifik.
Secara morfologi, penyu mempunyai keunikan-keunikan tersendiri dibandingkan hewan-hewan lainnya.
Tubuh penyu terbungkus oleh tempurung atau karapas keras yang berbentuk pipih serta dilapisi oleh zat tanduk. karapas tersebut mempunyai fungsi sebagai pelindung alami dari predator.
Penutup pada bagian dada dan perut disebut dengan Plastron.
Ciri khas penyu secara morfologis terletak pada terdapatnya sisik infra marginal (sisik yang menghubungkan antara karapas, plastron dan terdapat alat gerak berupa flipper).
Flipper pada bagian depan berfungsi sebagai alat dayung dan flipper pada bagian belakang befungsi sebagai alat kemudi.
Pada penyu-penyu yang ada di Indonesia mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat dilihat dari warna tubuh, bentuk karapas, serta jumlah dan posisi sisik pada badan dan kepala penyu.
Penyu mempunyai alat pecernaan luar yang keras, untuk mempermudah menghancurkan, memotong dan mengunyah makanan.
Penyu hijau merupakan jenis penyu yang paling sering ditemukan dan hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanya yang kecil dan paruhnya yang tumpul.
Ternyata nama penyu hijau bukan karena sisiknya berwarna hijau, tapi warna lemak yang terdapat di bawah sisiknya berwarna hijau. Tubuhnya bisa berwarna abu abu, kehitam-hitaman atau kecoklat- coklatan. Daging jenis penyu inilah yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia terutama di Bali. Mungkin karena orang memburu dagingnya maka penyu ini kadang-kadang pula disebut penyu daging. (Nuitja, 1992).
Berat penyu hijau dapat mencapai 400 kg, namun di Asia Tenggara yang tumbuh paling besar sekitar separuh ukuran ini. Penyu hijau di Barat Daya kepulauan Hawai kadang kala ditemukan mendarat pada waktu siang untuk berjemur.
Anak-anak penyu hijau (tukik), setelah menetas, akan menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik penyu hijau yang berada di sekitar Teluk California hanya memakan alga merah. Penyu hijau akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali. Ketika penyu hijau masih muda mereka makan berbagai jenis biota laut seperti cacing laut, udang remis, rumput laut juga alga. Ketika tubuhnya mencapai ukuran sekitar 20-30 cm, mereka berubah menjadi herbivora dan makanan utamanya adalah rumput laut (Nuitja, 1992).


Reproductive Behaviour
Musim peneluran penyu hijau di suatu tempat berbeda dengan di tempat lain. Di Indonesia musim peneluran penyu Hijau berlangung sepanjang tahun dengan puncak musim yang berbeda di setiap daerah. Interval bertelur penyu Hijau berkisar antara 12 – 15 hari dan sebagian besar penyu Hijau bertelur antara 3 – 7 kali dalam setiap musim peneluran (Helmstetter, 2005). Hasil penelitian Nuitja (1983) menunjukkan bahwa penyu Hijau yang bertelur di pantai Pangumbahan mempunyai interval antara 3 – 16 hari.
Induk penyu tidak selalu kembali untuk bertelur pada tahun berikutnya. Setelah beberapa bulan musim peneluran induk penyu akan kembali ke daerah pakan dan mulai mempersiapkan musim kawin selanjutnya. Durasi waktu antara musim reproduksi dengan musim reproduksi selanjutnya didefinisikan sebagai interval remigrasi. Menurut Limpus (1985) rata-rata interval remigrasi induk penyu bervariasi dari tiap spesies. Induk penyu Hijau akan kembali untuk bertelur setelah 1 hingga 9 tahun dan bahkan lebih lama lagi (Limpus et al., 1984b, Limpus 1995a). Di Florida induk penyu Hijau akan kembali bertelur antara 2, 3, atau 4 tahun berikutnya (National Marine Fisheries Service, 1998). Begitu juga di Hawaii, induk penyu Hijau kembali lagi ke pantai untuk meletakkan telurnya setelah 2 hingga 4 tahun (Hirth, 1962). Sampai saat ini belum ada penjelasan apakah pejantan dan betina penyu Hijau menggunakan skala waktu yang sama untuk bereproduksi.
Penyu pada umumnya bertelur di pantai pada petang hari atau dalam keadaan gelap. Proses peneluran penyu berlangsung pada pukul 18:00-06:00 hari berikutnya (Nuitja, 1983). Lama proses peneluran berkisar antara 1- 3 jam. Ada kalanya penyu menuju ke pantai tidak untuk bertelur akan tetapi hanya mensurvei tempat sebelum induk penyu meletakkan telurnya, kondisi ini disebut non-nesting emergence (memeti).
Menurut Miller (1997) aktivitas ketika penyu bertelur meliputi;
1. Saat Muncul Dari Laut (Emergence)
Suatu keadaan ketika penyu baru saja muncul dari laut dan melihat kondisi pantai apakah tempat tersebut aman sebagai tempat bertelur.
2. Merangkak Menuju Pantai (Crawling)
Setelah kondisi lingkungan dirasa aman untuk bertelur, penyu bergerak menuju pantai untuk mencari tempat yang sesuai untuk bertelur.
3. Menggali Lubang Badan (Digging Body Pit)
Ketika penyu telah menemukan tempat yang sesuai untuk bertelur maka penyu akan membersihkan tempat tersebut dan membuat lubang badan.
4. Menggali Lubang Telur (Digging eggs chamber)
Setelah selesai membuat lubang badan, induk penyu akan menggali lubang telur untuk meletakkan telurnya.
5. Bertelur (Laying egg).
Induk penyu akan meletakkan telurnya pada lubang telur tersebut. Dalam satu kali oviposisi induk telur akan mengeluarkan dua hingga tiga butir telur.
6. Menutup Lubang Telur (Covering eggs chamber)
Selesai meletakkan telurnya, induk penyu akan langsung menutup lubang telur tersebut.
7. Menutup Lubang Badan (Covering body pit)
Setelah selesai menutup lubang telur induk penyu akan melanjutkannya dengan menutup lubang badan agar nampak seperti semula.
8. Penyamaran Sarang (Camuflase)
Untuk menghindari sarang penyu dari gangguan predator, induk penyu akan menyamarkan sarangnya.
9. Kembali Ke Pantai (Back to the sea)
Setelah selesai bertelur, induk penyu akan meninggalkan sarangnya dan kembali ke laut.
Pada kondisi emergence, crawling, digging body pit dan digging eggs chamber, induk penyu sangat sensitif terhadap kondisi sekeliling sehingga pada kondisi ini harus dihindari aktifitas yang dapat menyebabkan induk penyu mengurungkan niatnya untuk bertelur. Setelah induk penyu meletakkan telurnya yang pertama (laying eggs), induk penyu tidak akan menghiraukan gangguan yang ada, pada kondisi ini pengukuran panjang dan lebar karapas dapat dilakukan.
Untuk lebih meningkatkan keberhasilan penetasan semi alami, ada beberapa faktor yang erat kaitannya dengan keberhasilan tersebut perlu mendapat perhatian, yaitu: difusi gas, kelembaban, temperatur sarang dan faktor biotik (Miller, 1999).


SUMBER : Nuitja, I., N., S., 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor. dalam http://zonaikan.wordpress.com/2010/10/20/sifat-dan-habitat-penyu-hijau/
http://www.indonesiaindonesia.com/f/6256-populasi-penyu-hijau-chelonia-mydas-pantai/
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyu_hijau
http://seaturtleindonesia.blogspot.com/2010/02/teknik-molekuler-dalam-populasi-penyu.html


(maaf, untuk beberapa pustaka tidak ada sumber dan link-nya karena artikel ini pun hasil dari copas dari link yang di cantumkan di atas)

Source :  http://forestcreator.wordpress.com/2010/11/21/penyu-hijau/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar