Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Reptilia
Ordo: Testudines
Famili: Cheloniidae
Genus: Chelonia
Latreille dalam Sonnini & Latreille, 1802
Spesies: Chelonia mydas
Nama binomial
Chelonia mydas
(Linnaeus, 1758)
Chelonia mydas, atau yang biasanya dikenal dengan nama Penyu
Hijau adalah penyu laut besar yang termasuk dalam keluarga Cheloniidae.
Hewan ini adalah satu-satunya spesies dalam golongan Chelonia. Mereka
hidup di semua laut tropis dan subtropis, terutama di Samudera Atlantik
dan Samudera Pasifik.
Secara morfologi, penyu mempunyai keunikan-keunikan tersendiri dibandingkan hewan-hewan lainnya.
Tubuh penyu terbungkus oleh tempurung atau karapas keras yang
berbentuk pipih serta dilapisi oleh zat tanduk. karapas tersebut
mempunyai fungsi sebagai pelindung alami dari predator.
Penutup pada bagian dada dan perut disebut dengan
Plastron.
Ciri khas penyu secara morfologis terletak pada terdapatnya sisik
infra marginal (sisik yang menghubungkan antara karapas, plastron dan
terdapat alat gerak berupa
flipper).
Flipper pada bagian depan berfungsi sebagai alat dayung dan flipper pada bagian belakang befungsi sebagai alat kemudi.
Pada penyu-penyu yang ada di Indonesia mempunyai ciri-ciri
khusus yang dapat dilihat dari warna tubuh, bentuk karapas, serta
jumlah dan posisi sisik pada badan dan kepala penyu.
Penyu mempunyai alat pecernaan luar yang keras, untuk mempermudah menghancurkan, memotong dan mengunyah makanan.
Penyu hijau merupakan jenis penyu yang paling sering ditemukan dan
hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanya yang kecil
dan paruhnya yang tumpul.
Ternyata nama penyu hijau bukan karena sisiknya berwarna hijau, tapi
warna lemak yang terdapat di bawah sisiknya berwarna hijau.
Tubuhnya bisa berwarna abu abu, kehitam-hitaman atau
kecoklat- coklatan. Daging jenis penyu inilah yang paling
banyak dikonsumsi di seluruh dunia terutama di Bali.
Mungkin karena orang memburu dagingnya maka penyu ini kadang-kadang
pula disebut penyu daging. (Nuitja, 1992).
Berat penyu hijau dapat mencapai 400 kg, namun di Asia Tenggara
yang tumbuh paling besar sekitar separuh ukuran ini. Penyu hijau di
Barat Daya kepulauan Hawai kadang kala ditemukan mendarat pada waktu
siang untuk berjemur.
Anak-anak penyu hijau (tukik), setelah menetas, akan menghabiskan
waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik penyu hijau yang berada di
sekitar Teluk California hanya memakan alga merah. Penyu hijau
akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga
4 tahun sekali. Ketika penyu hijau masih muda mereka makan berbagai
jenis biota laut seperti cacing laut, udang remis, rumput laut juga
alga. Ketika tubuhnya mencapai ukuran sekitar 20-30 cm, mereka berubah
menjadi herbivora dan makanan utamanya adalah rumput laut (Nuitja,
1992).
Reproductive Behaviour
Musim peneluran penyu hijau di suatu tempat berbeda dengan di tempat
lain. Di Indonesia musim peneluran penyu Hijau berlangung sepanjang
tahun dengan puncak musim yang berbeda di setiap daerah. Interval
bertelur penyu Hijau berkisar antara 12 – 15 hari dan sebagian besar
penyu Hijau bertelur antara 3 – 7 kali dalam setiap musim peneluran
(Helmstetter, 2005). Hasil penelitian Nuitja (1983) menunjukkan bahwa
penyu Hijau yang bertelur di pantai Pangumbahan mempunyai interval
antara 3 – 16 hari.
Induk penyu tidak selalu kembali untuk bertelur pada tahun
berikutnya. Setelah beberapa bulan musim peneluran induk penyu akan
kembali ke daerah pakan dan mulai mempersiapkan musim kawin selanjutnya.
Durasi waktu antara musim reproduksi dengan musim reproduksi
selanjutnya didefinisikan sebagai interval remigrasi. Menurut Limpus
(1985) rata-rata interval remigrasi induk penyu bervariasi dari tiap
spesies. Induk penyu Hijau akan kembali untuk bertelur setelah 1 hingga 9
tahun dan bahkan lebih lama lagi (Limpus et al., 1984b, Limpus 1995a).
Di Florida induk penyu Hijau akan kembali bertelur antara 2, 3, atau 4
tahun berikutnya (National Marine Fisheries Service, 1998). Begitu juga
di Hawaii, induk penyu Hijau kembali lagi ke pantai untuk meletakkan
telurnya setelah 2 hingga 4 tahun (Hirth, 1962). Sampai saat ini belum
ada penjelasan apakah pejantan dan betina penyu Hijau menggunakan skala
waktu yang sama untuk bereproduksi.
Penyu pada umumnya bertelur di pantai pada petang hari atau dalam
keadaan gelap. Proses peneluran penyu berlangsung pada pukul 18:00-06:00
hari berikutnya (Nuitja, 1983). Lama proses peneluran berkisar antara
1- 3 jam. Ada kalanya penyu menuju ke pantai tidak untuk bertelur akan
tetapi hanya mensurvei tempat sebelum induk penyu meletakkan telurnya,
kondisi ini disebut non-nesting emergence (memeti).
Menurut Miller (1997) aktivitas ketika penyu bertelur meliputi;
1. Saat Muncul Dari Laut (Emergence)
Suatu keadaan ketika penyu baru saja muncul dari laut dan melihat
kondisi pantai apakah tempat tersebut aman sebagai tempat bertelur.
2. Merangkak Menuju Pantai (Crawling)
Setelah kondisi lingkungan dirasa aman untuk bertelur, penyu bergerak
menuju pantai untuk mencari tempat yang sesuai untuk bertelur.
3. Menggali Lubang Badan (Digging Body Pit)
Ketika penyu telah menemukan tempat yang sesuai untuk bertelur maka
penyu akan membersihkan tempat tersebut dan membuat lubang badan.
4. Menggali Lubang Telur (Digging eggs chamber)
Setelah selesai membuat lubang badan, induk penyu akan menggali lubang telur untuk meletakkan telurnya.
5. Bertelur (Laying egg).
Induk penyu akan meletakkan telurnya pada lubang telur tersebut.
Dalam satu kali oviposisi induk telur akan mengeluarkan dua hingga tiga
butir telur.
6. Menutup Lubang Telur (Covering eggs chamber)
Selesai meletakkan telurnya, induk penyu akan langsung menutup lubang telur tersebut.
7. Menutup Lubang Badan (Covering body pit)
Setelah selesai menutup lubang telur induk penyu akan melanjutkannya dengan menutup lubang badan agar nampak seperti semula.
8. Penyamaran Sarang (Camuflase)
Untuk menghindari sarang penyu dari gangguan predator, induk penyu akan menyamarkan sarangnya.
9. Kembali Ke Pantai (Back to the sea)
Setelah selesai bertelur, induk penyu akan meninggalkan sarangnya dan kembali ke laut.
Pada kondisi emergence, crawling, digging body pit dan digging eggs
chamber, induk penyu sangat sensitif terhadap kondisi sekeliling
sehingga pada kondisi ini harus dihindari aktifitas yang dapat
menyebabkan induk penyu mengurungkan niatnya untuk bertelur. Setelah
induk penyu meletakkan telurnya yang pertama (laying eggs), induk penyu
tidak akan menghiraukan gangguan yang ada, pada kondisi ini pengukuran
panjang dan lebar karapas dapat dilakukan.
Untuk lebih meningkatkan keberhasilan penetasan semi alami, ada
beberapa faktor yang erat kaitannya dengan keberhasilan tersebut perlu
mendapat perhatian, yaitu: difusi gas, kelembaban, temperatur sarang dan
faktor biotik (Miller, 1999).
SUMBER : Nuitja, I., N., S., 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian
Penyu Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor. dalam
http://zonaikan.wordpress.com/2010/10/20/sifat-dan-habitat-penyu-hijau/
http://www.indonesiaindonesia.com/f/6256-populasi-penyu-hijau-chelonia-mydas-pantai/
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyu_hijau
http://seaturtleindonesia.blogspot.com/2010/02/teknik-molekuler-dalam-populasi-penyu.html
(maaf, untuk beberapa pustaka tidak ada sumber dan link-nya karena
artikel ini pun hasil dari copas dari link yang di cantumkan di atas)
Source : http://forestcreator.wordpress.com/2010/11/21/penyu-hijau/